KPR Untuk Gen Z: Tantangan dan Impian Rumah Idaman

Senin, 16 Juni 2025 | 16:27:12 WIB
KPR Untuk Gen Z: Tantangan dan Impian Rumah Idaman

Memiliki rumah idaman adalah impian banyak orang, termasuk generasi muda yang kini tengah memasuki dunia kerja dan berkeluarga. Bagi banyak orang, rumah bukan hanya sekadar tempat tinggal, tetapi simbol dari kemandirian pribadi dan pencapaian hidup. Namun, meskipun impian memiliki rumah semakin dekat, tantangan dalam memperoleh Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bagi generasi muda, khususnya Gen Z, masih sangat besar.

Penurunan Tren Pengajuan KPR

Berdasarkan data Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia yang dirilis pada kuartal I 2025, terdapat penurunan signifikan dalam pengajuan KPR. Pada kuartal pertama 2025, persentase total pembelian rumah melalui KPR tercatat hanya mencapai 70,68%. Angka ini mengalami penurunan dibandingkan kuartal I 2024 yang masih tercatat di angka 76,25%.

Tren ini semakin terlihat jelas ketika melihat data dari Bank Tabungan Negara (BTN), yang mencatat bahwa mayoritas pengaju KPR berasal dari kalangan muda, dengan persentase mencapai 76,6%. Para pengaju ini umumnya adalah pasangan usia muda kelahiran tahun 1980 hingga 1996, yang masuk dalam kategori milenial. Meski demikian, jumlah pengajuan KPR yang menggunakan skema pembayaran tunai bertahap atau tunai langsung justru mengalami peningkatan, menandakan adanya pergeseran pola dan tantangan baru yang dihadapi oleh generasi muda dalam memperoleh KPR.

Tantangan dan Hambatan yang Dihadapi Generasi Muda

Walaupun generasi muda menyadari keuntungan yang bisa didapatkan melalui fasilitas kredit KPR, kenyataannya mereka menghadapi sejumlah kendala yang membuat minat mereka untuk mengajukan KPR menurun. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Inventure, sebanyak 65% orang muda dari Generasi Z merasa tidak yakin mampu membeli rumah dalam waktu tiga tahun ke depan. Sebanyak 80% dari mereka mengeluhkan harga rumah yang semakin tinggi, jauh melampaui kemampuan finansial mereka.

Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia telah berkurang hampir 10 juta dalam lima tahun terakhir. Hal ini sangat mempengaruhi daya beli generasi muda, khususnya yang berasal dari kelas menengah. Mereka seolah terjebak dalam dua pilihan sulit: pertama, mereka dianggap tidak cukup miskin untuk mendapatkan bantuan, dan kedua, pendapatan yang tidak mencukupi untuk memilih tenor cicilan yang lebih panjang.

“Sebagian besar generasi muda merasa terjepit, dengan pendapatan yang stagnan sementara harga rumah terus merangkak naik,” kata seorang ahli ekonomi yang enggan disebutkan namanya. “Mereka berhadapan dengan kenyataan bahwa untuk memiliki rumah, mereka harus mengorbankan sebagian besar pendapatan mereka untuk cicilan KPR."

Realitas Ekonomi yang Belum Berpihak pada Mereka

Bagi generasi muda yang memiliki penghasilan rata-rata sekitar 6 juta rupiah per bulan, rasanya sulit untuk menutupi semua pengeluaran, termasuk cicilan KPR. Di luar cicilan rumah, mereka harus membayar biaya hidup sehari-hari, biaya transportasi, kebutuhan kesehatan, dan berbagai pengeluaran lainnya. Dengan kondisi ini, mereka merasa tidak mampu untuk menanggung beban cicilan rumah meskipun dengan tenor yang panjang.

Meskipun bank-bank menyediakan tenor cicilan KPR yang lebih panjang, hingga 35 tahun, para generasi muda merasa enggan untuk mengikat diri dengan hutang yang sangat lama. "Bagi kami, memiliki cicilan panjang sama artinya dengan menghabiskan sebagian besar hidup produktif kami hanya untuk berhutang," ujar salah satu anggota Generasi Z yang enggan menyebutkan namanya.

Tak hanya itu, catatan historis kredit yang buruk di sistem informasi keuangan turut mempengaruhi kelayakan pengajuan KPR mereka. Pengajuan yang ditolak karena catatan kredit yang buruk menambah beban mental bagi generasi muda yang ingin memiliki rumah, namun kesulitan dalam memenuhi persyaratan administratif.

Refleksi dan Tantangan Ekonomi yang Harus Dipecahkan

Kebanyakan orang muda yang menunda atau bahkan mengurungkan niat untuk membeli rumah melalui KPR bukan karena mereka tidak ingin memiliki rumah, melainkan karena realitas ekonomi yang belum berpihak kepada mereka. Harga properti yang semakin tinggi, pendapatan yang stagnan, dan proses pengajuan KPR yang ketat menjadi hambatan utama.

“Memiliki rumah adalah impian saya, tetapi kenyataannya saya merasa tidak punya cukup kemampuan finansial untuk mewujudkannya,” ujar seorang calon pembeli rumah dari generasi Z yang bekerja di sektor swasta. "Kenaikan harga rumah dan persyaratan kredit yang ketat membuat kami harus berpikir ulang."

Untuk itu, diperlukan langkah konkret dari pemerintah, industri perbankan, serta sektor terkait lainnya untuk menyelesaikan masalah ini. Salah satunya adalah dengan mengembangkan kebijakan yang lebih berpihak kepada generasi muda, seperti memperkenalkan produk-produk perbankan yang lebih ramah terhadap pendapatan generasi muda. Selain itu, edukasi keuangan dan literasi properti juga menjadi hal penting yang harus diperkenalkan sejak dini agar generasi muda memiliki pengetahuan yang lebih baik dalam mengelola keuangan mereka.

Solusi Jangka Panjang

Ke depan, solusi jangka panjang untuk memperbaiki akses KPR bagi generasi muda harus menyasar akar permasalahan. Regulasi harga tanah yang lebih terjangkau dan peningkatan pasokan rumah yang terjangkau menjadi hal yang perlu diperhatikan. Selain itu, produk perbankan yang lebih inklusif dan fleksibel dalam hal tenor, bunga, serta uang muka bisa menjadi alternatif bagi mereka yang berkeinginan memiliki rumah.

Menurut para ahli, selain intervensi dari sektor perbankan dan kebijakan pemerintah, peran sektor swasta dan pengembang properti juga sangat krusial dalam menghadirkan hunian yang terjangkau bagi generasi muda. Selain itu, perlunya peningkatan literasi keuangan sejak dini juga diharapkan dapat membentuk pola pikir finansial yang sehat dan membuka lebih banyak peluang bagi generasi muda untuk memiliki rumah idaman mereka.

Dengan demikian, meskipun tantangan yang dihadapi generasi muda dalam memiliki rumah melalui KPR sangat besar, langkah-langkah yang lebih adaptif dan inovatif dari sektor terkait dapat membuka peluang yang lebih besar bagi mereka.

Terkini