JAKARTA - Pemanfaatan gas bumi di dalam negeri kini menjadi fokus utama PT Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai bagian dari strategi memperkuat ketahanan energi nasional. Dengan produksi gas nasional yang masih mencukupi kebutuhan domestik, langkah PGN ini menunjukkan komitmen untuk memaksimalkan potensi dalam negeri sebelum membuka opsi impor.
Direktur Utama PGN, Arief Setiawan Handoko, menyatakan bahwa hingga saat ini kebutuhan domestik masih bisa ditopang oleh produksi nasional yang mencapai 6.600 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Dari jumlah tersebut, sekitar 3.300 hingga 3.500 MMSCFD disalurkan untuk kebutuhan dalam negeri.
"Yang disalurkan ke domestik berkisar 3.300 hingga 3.500 MMSCFD. Secara total suplai itu masih cukup. Itu yang jadi prioritas,” ujar Arief.
Meski demikian, Arief tidak menampik masih ada persoalan mendasar dalam distribusi gas bumi, terutama dalam bentuk liquefied natural gas (LNG), yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini, menurutnya, disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur jaringan distribusi yang belum menjangkau seluruh pusat industri.
“Sekarang permintaan lebih tinggi, tapi distribusinya tidak seimbang. Terjadi mismatch antara tempat produksi dan lokasi yang membutuhkan,” kata Arief.
Untuk menjawab tantangan ini, PGN telah menyusun rencana pengembangan infrastruktur, baik melalui jaringan pipa (pipeline) maupun di luar jaringan pipa (beyond pipeline). Langkah ini bertujuan untuk menghubungkan produsen gas dengan wilayah-wilayah industri yang membutuhkan pasokan energi secara efisien dan merata.
Dalam metode beyond pipeline, PGN telah memiliki fasilitas Floating Storage Regasification Unit (FSRU), yang berfungsi untuk menampung LNG dan menghubungkannya ke jaringan distribusi pipa. Saat ini, FSRU PGN berada di Teluk Lamong, dan perusahaan juga memiliki fasilitas regasifikasi lainnya di Arun, Aceh.
“FSRU kami ada di Teluk Lamong, kemudian juga ada fasilitas Arun Gas. Intinya, kerja PGN adalah menghubungkan produsen gas dari wilayah timur hingga ke barat Indonesia,” ungkap Arief.
Pendekatan PGN ini turut mendapat perhatian dari kalangan legislatif. Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Eddy Soeparno, menyampaikan bahwa impor LNG memang bisa menjadi opsi, namun hanya jika kondisi industri memang membutuhkan tambahan pasokan secara mendesak.
“Kami mendukung langkah yang mencegah kegagalan sektor industri untuk beroperasi akibat kekurangan gas. Jika untuk itu perlu membuka dan memberikan relaksasi terhadap impor, maka kebijakan tersebut harus segera dilaksanakan,” kata Eddy.
Sebagai anggota Komisi Energi di DPR, Eddy menekankan bahwa sektor industri yang padat karya dan sangat bergantung pada gas harus menjadi prioritas dalam distribusi. Ia menyebutkan sektor baja, pupuk, kaca, keramik, dan petrokimia sebagai industri yang menggunakan gas tidak hanya untuk bahan bakar, tetapi juga sebagai bahan baku.
“Ini adalah sektor yang menyerap banyak tenaga kerja. Saya kira memang perlu ada pemberian prioritas kepada sektor-sektor yang membutuhkan pasokan gas dalam jumlah besar,” tambahnya.
Di sisi pemerintah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya menyampaikan bahwa Indonesia membuka peluang peningkatan volume impor beberapa komoditas dari Amerika Serikat, termasuk LNG. Wacana ini mencuat sebagai bagian dari negosiasi dagang antara kedua negara.
Namun, Airlangga memastikan bahwa rencana tersebut tidak akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), karena sifatnya hanya realokasi atau switching dari pembelian sebelumnya.
“Ini tidak menambah, tetapi realisasi pembelian, switch. Jadi, tidak mengganggu APBN,” jelas Airlangga.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana, menyebut bahwa hingga kini belum ada rencana konkret untuk impor LNG dari Amerika Serikat. Ia memastikan bahwa dalam waktu dekat, kebutuhan dalam negeri masih bisa dipenuhi oleh produksi LNG nasional.
“Untuk tiga bulan pertama ini kami memastikan suplai-suplai LNG di dalam negeri itu tersedia dan kami akan mengoptimalkan produksi yang ada,” ujar Dadan di Kantor BPH Migas, Jakarta Selatan.
Langkah PGN yang lebih memilih memaksimalkan produksi gas domestik mencerminkan arah kebijakan energi nasional yang mengedepankan kemandirian dan efisiensi. Dengan dukungan penguatan infrastruktur dan kolaborasi lintas sektor, optimalisasi distribusi gas akan menjadi kunci bagi pertumbuhan industri dan pemulihan ekonomi Indonesia.
Kebijakan ini juga menjadi fondasi penting dalam menciptakan sistem energi yang berkelanjutan, mengurangi ketergantungan pada impor, serta memberikan kepastian pasokan bagi sektor-sektor strategis yang menjadi penopang tenaga kerja nasional.