JAKARTA - Penerapan metode pembelajaran baru di sekolah dasar dan menengah mulai tahun ajaran ini menandai langkah besar dalam reformasi pendidikan nasional. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) memutuskan untuk mengintegrasikan pendekatan deep learning atau pembelajaran mendalam ke dalam kurikulum nasional. Langkah ini bukan sekadar perubahan metode, melainkan transformasi dalam cara siswa belajar dan guru mengajar.
Deep learning bukanlah konsep yang asing di dunia pendidikan global. Namun, bagi Indonesia, penerapannya dalam skala nasional merupakan terobosan besar. Kemendikdasmen menyatakan bahwa tujuan utama dari model ini adalah meningkatkan kualitas pembelajaran secara menyeluruh, terutama dalam hal kemampuan literasi dan numerasi siswa di tingkat dasar dan menengah.
Menurut Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikdasmen, Laksmi Dewi, deep learning dapat membantu siswa lebih cepat memahami dasar-dasar seperti membaca dan berhitung. “Kami berharap model ini bisa meningkatkan hasil belajar dan kompetensi-kompetensi siswa,” ujar Laksmi saat ditemui di Jakarta.
Lantas, seperti apa sebenarnya metode deep learning yang kini mulai diterapkan dalam sistem pendidikan Indonesia?
Metode ini terdiri atas empat pendekatan utama yang harus dipahami dan diterapkan oleh para pendidik: praktik pedagogis, kemitraan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, serta pemanfaatan teknologi digital. Keempat pendekatan ini saling terkait dan membentuk satu kerangka utuh dalam proses pembelajaran yang lebih dalam dan bermakna.
Pada praktik pedagogis, guru diarahkan untuk menyusun strategi pengajaran yang lebih autentik dan berpusat pada pengalaman belajar nyata. Pendekatan ini bertujuan untuk mendorong siswa mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. “Guru mengutamakan praktik nyata mendorong keterampilan berpikir tingkat tinggi,” ucap Laksmi.
Dalam pendekatan kedua, yaitu kemitraan pembelajaran, peran guru tidak lagi sebagai satu-satunya pusat pengetahuan. Sebaliknya, guru dituntut untuk menjalin hubungan kolaboratif dengan siswa, orang tua, serta komunitas dan mitra profesional. Pendekatan ini bertujuan membentuk ekosistem belajar yang inklusif dan partisipatif.
Lingkungan pembelajaran sebagai pendekatan ketiga menekankan integrasi antara ruang fisik, virtual, dan budaya. Guru diberi keleluasaan untuk merancang ruang belajar yang fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan siswa. Hal ini juga memberi ruang bagi berbagai gaya belajar siswa agar terfasilitasi dengan baik. Menurut Laksmi, dengan mengombinasikan ruang belajar fisik dan digital, guru bisa lebih efektif dalam menyampaikan materi.
Sementara itu, teknologi digital menjadi komponen penting dalam pendekatan keempat. Teknologi berperan dalam menciptakan interaksi yang lebih dinamis antara siswa dan materi pembelajaran. Selain itu, keberadaan beragam sumber belajar digital menjadi potensi besar dalam menciptakan proses belajar yang lebih bermakna. “Tersedianya beragam sumber belajar menjadi peluang menciptakan pengetahuan bermakna pada peserta didik,” tutur Laksmi.
Tak hanya dari pemerintah, dukungan terhadap penerapan deep learning juga datang dari kalangan pengawas pendidikan. Ketua Asosiasi Pengawas Pendidikan Agama dan Keagamaan Seluruh Indonesia, Yun Yun Yunadi, menyatakan bahwa deep learning tidak hanya menekankan pada hafalan fakta. Ia menekankan pentingnya kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan kolaborasi dalam proses belajar. “Tetapi tentang mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan kolaborasi,” kata Yun Yun.
Namun, ia juga mengakui bahwa masih ada tantangan yang harus dihadapi. Keterbatasan infrastruktur dan sumber daya di beberapa sekolah, terutama di wilayah terpencil, menjadi hambatan utama dalam pelaksanaan metode ini. Oleh karena itu, peran kepala sekolah dan pengawas pendidikan sangat penting dalam mendukung guru agar dapat menerapkan metode deep learning secara efektif.
Hal senada diungkapkan oleh Wawan Kurniawan, Ketua Kelompok Kerja Pengawas Pendidikan Agama Islam Kota Jakarta Timur. Menurutnya, deep learning bukanlah kurikulum baru, melainkan pendekatan dalam proses pembelajaran. Ia menambahkan bahwa pendekatan ini memiliki tiga elemen utama, yaitu mindful (kesadaran), meaningful (bermakna), dan durable (berkelanjutan).
“Mindful menekankan pentingnya kehadiran penuh siswa dalam proses pembelajaran, meaningful memastikan bahwa materi yang dipelajari relevan dan bermakna bagi kehidupan nyata siswa, dan durable bertujuan untuk menciptakan pengetahuan dan keterampilan yang bertahan lama dan dapat diaplikasikan dalam berbagai konteks,” kata Wawan.
Dengan semua elemen tersebut, penerapan deep learning menjadi langkah besar dalam menyelaraskan pendidikan Indonesia dengan kebutuhan masa kini. Di era informasi yang cepat dan kompleks ini, siswa tidak cukup hanya dibekali hafalan. Mereka perlu dibimbing untuk menjadi pembelajar yang aktif, berpikir kritis, serta mampu beradaptasi dengan perubahan.
Transformasi ini menandai pergeseran paradigma pendidikan: dari sekadar transfer pengetahuan ke arah penciptaan pengalaman belajar yang bermakna, mendalam, dan kontekstual. Maka, sukses tidaknya penerapan deep learning sangat bergantung pada kolaborasi semua pihak mulai dari pemerintah, guru, orang tua, hingga komunitas.