Kenaikan Harga Sawit Dorong Harapan Petani Jambi

Rabu, 30 Juli 2025 | 13:46:03 WIB
Kenaikan Harga Sawit Dorong Harapan Petani Jambi

JAKARTA - Pergerakan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Provinsi Jambi pada akhir Juli 2025 memberikan sedikit angin segar bagi para pelaku usaha perkebunan. Namun, tidak semua kalangan petani dapat langsung merasakan dampak positif dari tren kenaikan harga ini. Meski harga resmi naik, realisasi di lapangan menunjukkan masih adanya ketimpangan yang cukup mencolok, khususnya bagi petani sawit mandiri yang menjual hasil panennya melalui perantara.

Dalam kondisi ini, narasi yang mengemuka bukan hanya soal harga yang meningkat, tetapi juga tantangan distribusi yang dihadapi oleh petani dalam menjual TBS mereka. Disparitas harga antara yang ditetapkan pemerintah dan harga aktual di tingkat petani memperlihatkan perlunya pembenahan sistem tata niaga sawit agar manfaat ekonomi dapat dirasakan secara merata.

Harga TBS Resmi Naik di Pabrik

Berdasarkan rilis resmi dari Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, harga TBS kelapa sawit pada periode 25–31 Juli 2025 mengalami kenaikan. Untuk kelompok usia tanaman sawit 10 hingga 20 tahun, harga ditetapkan sebesar Rp 3.442,09 per kilogram di tingkat pabrik kelapa sawit (PKS).

Angka ini menjadi kabar baik bagi pelaku industri sawit secara umum. Kenaikan harga menandakan perbaikan pada aspek penyerapan hasil panen oleh industri, serta mencerminkan situasi pasar yang tengah menunjukkan tren positif. Diharapkan, pergerakan ini juga memberikan kontribusi bagi perekonomian daerah dan kesejahteraan petani.

Namun, situasi di lapangan tidak selalu selaras dengan harga resmi yang ditetapkan. Banyak petani, khususnya petani sawit mandiri yang tidak tergabung dalam koperasi atau kemitraan, masih menjual hasil panennya di bawah harga acuan pemerintah. Hal ini menimbulkan kesenjangan antara harga ideal dan harga aktual yang diterima oleh petani.

Petani Mandiri Masih Menjual di Bawah Rp 3.000

Meski harga TBS secara resmi mengalami kenaikan, kenyataannya sebagian besar petani sawit mandiri di Jambi belum dapat menikmati nilai jual yang setara dengan harga pabrik. TBS mereka biasanya dijual melalui tengkulak atau loading ramp (RAM), di mana harga yang diterima jauh lebih rendah.

Berdasarkan pantauan di berbagai wilayah, harga TBS yang diterima petani mandiri masih berkisar antara Rp 2.550 hingga Rp 3.060 per kilogram. Informasi ini diperkuat oleh sejumlah komentar petani yang dibagikan melalui media sosial.

“Di Bangko petani jual Rp 3.020,” kata Heri Dasmawani dalam komentarnya.

Sementara itu, Feri dari Kumpeh Mekarsari menyebut bahwa harga di wilayahnya hanya mencapai Rp 2.850 per kilogram.

Komentar lain datang dari warga di Batanghari yang mengeluhkan rendahnya harga jual, “Toke sawit cuma beli Rp 2.600-an di Batanghari,” ungkapnya.

Kondisi ini menunjukkan adanya disparitas harga yang nyata antar wilayah, bahkan dalam satu provinsi. Padahal, beban produksi, biaya operasional, dan tenaga kerja yang dikeluarkan oleh petani mandiri tetap tinggi. Perbedaan harga tersebut mempengaruhi tingkat kesejahteraan petani dan menimbulkan keresahan di kalangan mereka.

Tantangan dan Ketimpangan dalam Tata Niaga

Disparitas harga yang dialami oleh petani mandiri menjadi sorotan utama dalam tata niaga sawit di daerah. Sistem distribusi yang masih mengandalkan perantara membuat petani tidak memiliki daya tawar yang cukup terhadap pabrik atau perusahaan besar.

Sebagian petani memilih menjual ke RAM atau tengkulak karena keterbatasan akses langsung ke pabrik. Selain itu, faktor jarak, biaya angkut, dan minimnya kelembagaan petani yang kuat juga menjadi alasan mereka tetap menjual melalui jalur tersebut meski dengan harga lebih rendah.

Permasalahan ini bukanlah hal baru, namun tetap menjadi pekerjaan rumah penting bagi semua pihak, termasuk pemerintah daerah, koperasi, dan lembaga penunjang pertanian. Dibutuhkan intervensi kebijakan yang berpihak pada petani kecil agar mereka dapat memperoleh nilai jual yang layak sesuai dengan harga pasar.

Selain itu, peran koperasi tani atau kelompok tani bisa diperkuat agar petani mandiri memiliki akses langsung ke pabrik. Dengan demikian, harga yang diterima bisa lebih mendekati harga resmi yang ditetapkan pemerintah.

Membangun Sistem yang Lebih Adil bagi Petani

Kenaikan harga TBS di tingkat pabrik seharusnya menjadi momentum untuk membenahi sistem perdagangan sawit dari hulu ke hilir. Dalam jangka pendek, penting untuk meningkatkan pengawasan distribusi dan pembinaan terhadap pelaku penampungan agar tidak merugikan petani.

Sementara dalam jangka panjang, pembentukan kelembagaan petani yang kuat menjadi kunci agar petani memiliki posisi tawar lebih tinggi. Dengan dukungan dari pemerintah melalui pelatihan, fasilitas transportasi, dan akses ke mitra industri, petani mandiri dapat menembus rantai distribusi yang selama ini dikuasai tengkulak.

Pemerintah juga dapat mempertimbangkan untuk membuka sistem transparansi harga berbasis digital, di mana petani dapat memantau harga acuan harian dan lokasi pabrik yang menerima pembelian langsung. Teknologi ini akan meminimalisir praktik monopoli harga oleh perantara dan memberikan petani akses informasi yang lebih adil.

Harga TBS kelapa sawit di Provinsi Jambi pada akhir Juli 2025 yang mencapai Rp 3.442,09 per kilogram menjadi sinyal positif dari sisi industri. Namun, realita yang dihadapi oleh petani sawit mandiri memperlihatkan masih banyak tantangan dalam distribusi hasil panen.

Petani masih menjual dengan harga jauh di bawah harga acuan, menunjukkan perlunya kebijakan yang lebih berpihak dan sistem perdagangan yang lebih adil. Harapannya, dengan perbaikan tata niaga dan peningkatan akses langsung ke pasar, kesejahteraan petani sawit di Jambi dapat meningkat secara merata.

Terkini