
JAKARTA — Narasi penyelamatan lingkungan dan transisi energi bersih tengah menjadi pembicaraan global yang dominan. Namun, di balik upaya menuju Energi Baru Terbarukan (EBT), terdapat kegelisahan yang mendalam: apakah transformasi ini benar-benar adil dan menyeluruh, atau justru mempertahankan ketimpangan lama dalam balutan baru?
Narasi Transisi Energi Mendunia, Tapi Belum Menyeluruh
Narasi tentang pentingnya penyelamatan lingkungan dan penggunaan energi ramah lingkungan kini telah menyebar luas. Bukan hanya menjadi perbincangan di negara maju, tetapi juga masuk ke dalam ruang keseharian masyarakat dan pengambil keputusan di negara berkembang yang kaya sumber daya alam.
Baca Juga
Fokus utama dari narasi ini adalah bagaimana menyelamatkan lingkungan yang selama lima dekade terakhir telah mengalami kerusakan besar. Di saat yang sama, muncul kesadaran untuk mencegah kerusakan lanjutan dengan mengedepankan penggunaan energi bersih.
Namun, pemahaman masyarakat tentang krisis energi dan lingkungan kini lebih banyak dimediasi oleh ruang digital. Sebagaimana dicatat dalam buku yang menjadi kajian utama dalam laporan ini, ancaman eksistensial terhadap bumi kini lebih sering dialami melalui “kehidupan di cloud”, tempat penyimpanan data digital, bukan lagi hanya melalui pengalaman langsung.
Ketergantungan pada Data dan Fenomena Datafikasi Energi
Buku ini menyoroti bagaimana negara-negara di kawasan utara dunia menghadapi krisis energi bukan berdasarkan pengalaman langsung, melainkan melalui pengumpulan dan analisis data. “Fenomena datafikasi” ini menjadikan keputusan terkait energi sangat tergantung pada representasi digital dari kenyataan, bukan dari realitas itu sendiri.
Akibatnya, pengalaman dan praktik sehari-hari masyarakat dalam berinteraksi dengan infrastruktur energi acap kali terabaikan. Wacana publik mengenai transisi energi pun cenderung terjebak dalam pendekatan teknokratik dan birokratik, lebih menekankan pada kebijakan, instrumen keuangan, dan kemauan politik, alih-alih memahami kondisi sosial masyarakat.
Distorsi Media dan Kapitalisme Rasial dalam Transisi Energi
Dalam masyarakat yang disebut filsuf Prancis Guy Debord sebagai Society of the Spectacle (Masyarakat Penonton), media berperan besar dalam membentuk persepsi publik. Buku ini mengkritik peran media yang dinilai telah “mendistorsi, membingungkan, dan mempertahankan tatanan ekstraktif kapitalisme rasial”.
“Media sering kali menyembunyikan hasil-hasil industri ekstraktif yang merupakan praktek kapitalisme, yang faktanya juga bersifat rasial,” tulis penulis buku tersebut.
Kapitalisme rasial, dalam konteks ini, menunjukkan bahwa hanya ras tertentu seperti Kaukasoid dan Mongoloid yang menikmati manfaat dari pertumbuhan industri energi baik fosil maupun terbarukan. Sementara komunitas lainnya tetap terpinggirkan, bahkan dalam model transisi yang digadang sebagai masa depan hijau.
Energi Bersih Masih Menjaga Ketimpangan Sosial
Salah satu studi kasus yang dikupas secara mendalam adalah proyek mikrogrid tenaga surya di kompleks apartemen Marcus Garvey, Brownsville, Brooklyn, New York. Mikrogrid adalah sistem pembangkit daya skala kecil yang memproduksi listrik secara lokal untuk komunitas tertentu.
Namun, wilayah Brownsville dikenal sebagai salah satu daerah dengan angka kemiskinan dan kriminalitas tinggi, serta tingkat kesehatan masyarakat yang rendah. Di sisi lain, instalasi mikrogrid tenaga surya membutuhkan investasi besar, dukungan institusional, serta infrastruktur bangunan yang stabil.
“Mikrogrid tenaga surya memerlukan tidak hanya investasi keuangan yang besar tetapi juga kemampuan teknis dan lingkungan yang mendukung. Semua itu tidak dimiliki oleh komunitas miskin seperti Brownsville,” jelas penulis.
Alih-alih menjadi solusi untuk komunitas tertinggal, infrastruktur seperti tenaga surya justru dinikmati lebih banyak oleh kelompok elit perkotaan yang memiliki sumber daya lebih baik. Ini membuktikan bahwa energi bersih belum otomatis berarti keadilan energi.
Transisi Energi dan Kekuasaan Politik
Penulis juga menekankan bahwa infrastruktur energi bukan hanya urusan teknis, melainkan terkait erat dengan kekuasaan ideologis dan politik. Dalam sejarahnya, energi fosil seperti minyak bumi dan batu bara telah menjadi basis kekuatan politik di banyak negara. Para pelaku industri energi memiliki pengaruh besar terhadap pembuat kebijakan.
“Infrastruktur energi bukan semata urusan material, tetapi juga bagian dari kekuatan ideologis,” tulis penulis dalam salah satu bagian penting bukunya.
Kini, ketika dunia mulai beralih ke energi terbarukan, struktur kekuasaan tersebut tidak serta-merta hilang. Penguasaan terhadap sumber daya EBT, seperti tenaga surya, mulai menjadi basis kekuatan baru, menggantikan dominasi energi fosil.
Bayang-Bayang Trump dan Ancaman Terhadap Regulasi Lingkungan
Dalam buku tersebut, kekhawatiran besar disampaikan terhadap potensi kebijakan pemerintah Amerika Serikat di bawah Donald Trump. Sebagian besar penelitian dilakukan saat masa jabatan pertama Trump, namun penulis meyakini tren deregulasi masih terus berlangsung.
“Trump adalah sebuah rezim pemerintah yang hampir pasti akan membongkar regulasi lingkungan, melemahkan industri energi terbarukan, dan mengabaikan perlindungan keadilan lingkungan,” ungkap penulis.
Ini menjadi tantangan serius karena kepemimpinan politik sangat menentukan arah perkembangan EBT di berbagai belahan dunia, termasuk komitmen terhadap kesetaraan sosial dan keadilan lingkungan.
Kritik Terhadap Cara Pandang Elit Kota dan Platform Digital
Aktivis, ahli, dan warga di kota besar seperti New York sering memandang teknologi tenaga surya sebagai simbol kesetaraan dan demokratisasi energi. Namun, penulis menunjukkan bahwa persepsi ini banyak dibentuk oleh media sosial dan interaksi digital, bukan dari pengalaman langsung.
“Sebagian besar dari kita hanya mengenal dan berinteraksi dengan infrastruktur tenaga surya melalui platform daring dan tampilan layar sosmed,” tulisnya.
Fakta di lapangan justru menunjukkan bahwa kehadiran teknologi ini belum berhasil menghapus kesenjangan sosial yang diwariskan oleh energi fosil. Transisi energi seharusnya tidak hanya digerakkan oleh inovasi, tetapi juga harus memastikan inklusi dan keberpihakan terhadap kelompok marjinal.
Transisi Energi Harus Menyentuh Aspek Sosial dan Keadilan
Energi Baru Terbarukan (EBT) memang membawa harapan besar untuk masa depan bumi yang lebih bersih. Namun, jika tidak diikuti dengan kepekaan sosial dan restrukturisasi kebijakan yang inklusif, maka energi bersih hanya akan menjadi wajah baru dari ketimpangan lama.
“Energi baru terbarukan adalah harapan, tetapi jika tidak disertai dengan kepekaan sosial dan lingkungan, maka harapan itu hanya akan dinikmati oleh segelintir orang saja,” tegas penulis buku ini.
Transisi energi bukan semata urusan teknologi, melainkan perjuangan untuk merebut kembali ruang keadilan sosial dan ekologis. Kini saatnya untuk memastikan bahwa energi bersih benar-benar menjadi milik semua orang bukan hanya mereka yang mampu membayar harga tinggi untuk masa depan hijau.
Jika kamu ingin saya bantu buat infografis, kutipan visual, atau ringkasan untuk keperluan media sosial, silakan beri tahu!

Sindi
navigasi.co.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
Bali Siap Capai 100 Persen Energi Terbarukan 2045
- 15 Juli 2025
2.
Panduan Lengkap Daftar MyPertamina untuk BBM Subsidi
- 15 Juli 2025