
JAKARTA — Memiliki rumah sendiri semakin menjadi mimpi yang menjauh bagi banyak anak muda di Indonesia. Meski memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan rutin, tak sedikit generasi milenial dan Gen Z yang merasa ragu atau bahkan enggan mengambil Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Alasannya kompleks, mulai dari harga rumah yang terus naik, gaji yang tak sebanding, hingga gaya hidup yang menuntut fleksibilitas tinggi.
Di tengah semangat “membeli rumah sebelum usia 30”, realita di lapangan berkata lain. Harga rumah saat ini naik pesat setiap tahun, sementara kenaikan gaji berjalan lambat. Dalam satu dekade terakhir, harga rumah melonjak lebih dari 80%, sedangkan pendapatan generasi muda hanya meningkat sekitar separuhnya. Ketimpangan ini memperbesar jarak antara keinginan dan kemampuan.
Kesenjangan Harga dan Gaji Kian Lebar
Baca Juga
Kisah Dimas (28), seorang karyawan swasta di Jakarta, mencerminkan keresahan banyak anak muda. “Dengan gaji saya sekarang, paling mentok bisa cicil motor. Harga rumah tipe 36 aja udah di atas Rp500 juta. Itu belum termasuk DP, pajak, dan biaya notaris,” keluhnya.
Simulasi sederhana menunjukkan bahwa dengan harga rumah Rp500 juta dan DP minimal 10%, seseorang harus menyiapkan setidaknya Rp50 juta di awal. Jika menabung Rp1 juta per bulan, butuh lebih dari empat tahun hanya untuk mengumpulkan uang muka belum termasuk risiko inflasi dan pengeluaran mendadak.
Tekanan Gaya Hidup dan Utang Konsumtif
Di sisi lain, generasi muda hidup di tengah biaya hidup yang makin tinggi dan serba cepat. Internet, transportasi online, layanan streaming, hingga gaya hidup digital menuntut pengeluaran rutin yang tak sedikit. Bahkan banyak yang terjebak dalam kredit konsumtif melalui skema “paylater” atau cicilan tanpa kartu kredit.
Penggunaan paylater, meski terlihat ringan, dapat membebani profil keuangan seseorang. Riwayat transaksi ini akan mempengaruhi rasio utang terhadap penghasilan, yang menjadi faktor penting dalam persetujuan KPR. Semakin tinggi beban cicilan bulanan, semakin kecil kemungkinan bank meloloskan pengajuan.
“Dulu saya pikir paylater itu solusi, tapi sekarang malah jadi batu sandungan pas ngajuin KPR. Saya baru tahu, walaupun cuma cicil belanja kecil, itu tetap dihitung utang,” ungkap Laila (26), pekerja freelance yang gagal mendapat persetujuan KPR tahun lalu.
Lebih Memilih Menyewa: Praktis dan Fleksibel
Faktor lain yang membuat anak muda ragu membeli rumah adalah fleksibilitas. Di era kerja remote dan mobilitas tinggi, banyak yang merasa memiliki rumah akan membatasi gerak. Bagi mereka, menyewa rumah atau apartemen dinilai lebih praktis, terutama jika pekerjaan menuntut untuk pindah kota.
“Saya lebih nyaman sewa, bisa pindah kalau suasana udah nggak nyaman atau kalau kerjaan berubah. Punya rumah itu beban, bukan prestise,” ujar Adit (30), digital nomad yang sudah tinggal di tiga kota berbeda dalam dua tahun terakhir.
Selain itu, masih banyak yang memprioritaskan pengalaman hidup dibanding aset fisik. Liburan, pendidikan lanjutan, hingga pengembangan diri dianggap lebih penting dibanding menyicil rumah selama 20 hingga 30 tahun.
Apakah Masih Mungkin Punya Rumah?
Meski tantangan besar, bukan berarti generasi muda tidak punya peluang memiliki rumah. Ada beberapa strategi yang bisa diterapkan untuk menyiasati kondisi ini:
1. Mengincar Properti Subsidi
Program rumah subsidi dari pemerintah masih tersedia bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Skema ini menawarkan bunga rendah dan uang muka yang terjangkau.
2. Membeli di Wilayah Penyangga
Harga rumah di kawasan seperti Bekasi, Depok, atau Tangerang relatif lebih murah dibanding Jakarta pusat. Walau butuh kompromi dalam hal jarak tempuh, opsi ini bisa jadi alternatif rasional.
3. Investasi Bertahap untuk Uang Muka
Mulai dari reksa dana, emas, hingga deposito pendidikan bisa dimanfaatkan untuk mengumpulkan dana awal. Disiplin menabung sejak awal karier akan memperbesar kemungkinan untuk membeli rumah di masa depan.
4. Membeli Rumah Second atau Over Kredit
Hunian bekas atau over kredit bisa jauh lebih murah daripada rumah baru. Beberapa bahkan sudah siap huni dan legalitasnya lengkap.
Pendidikan Finansial Jadi Kunci
Yang tak kalah penting adalah pendidikan keuangan sejak dini. Banyak anak muda yang belum memahami pentingnya mengelola keuangan pribadi, termasuk membedakan antara utang produktif dan konsumtif.
Menyiapkan anggaran, membuat target keuangan jangka panjang, serta memahami produk keuangan seperti KPR, asuransi, dan investasi menjadi bekal penting. Tanpa pemahaman ini, godaan konsumsi instan akan terus menghambat pencapaian finansial besar seperti kepemilikan rumah.
“Beli rumah bukan cuma soal punya uang. Ini soal prioritas, disiplin, dan strategi. Kita harus lebih melek finansial kalau mau keluar dari siklus sewa terus-menerus,” ujar Yoga (32), karyawan swasta yang berhasil memiliki rumah pertamanya di usia 30 tahun.
Rumah Pertama, Harapan Nyata
Memiliki rumah bukan lagi soal gengsi, tapi kebutuhan dan keamanan jangka panjang. Rumah pertama tak harus besar, tidak pula harus mewah. Yang penting, bisa menjadi tempat pulang dan investasi masa depan yang stabil.
Bagi anak muda yang kini masih merasa rumah seperti mimpi jauh, perlu disadari bahwa tantangan ini bisa dihadapi dengan perubahan pola pikir, perencanaan yang matang, dan tindakan nyata.
Meski harga rumah terus naik, penghasilan terbatas, dan gaya hidup penuh distraksi, generasi yang terbiasa adaptif dan melek teknologi juga pasti bisa menemukan jalan untuk mewujudkan rumah impiannya.

Sindi
navigasi.co.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
Oppo Rilis HP 5G Terjangkau, Mulai Rp 2 Jutaan
- 30 Juli 2025
2.
Xiaomi Banyak Iklan? Begini Cara Atasinya
- 30 Juli 2025
3.
HP Samsung Murah dengan USB OTG
- 30 Juli 2025
4.
5.
Wijaya Karya Perkuat Energi Lewat Proyek Balongan
- 30 Juli 2025