
JAKARTA — Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menegaskan pentingnya pertahanan sebagai pilar kedaulatan dan kesejahteraan nasional dalam pidato pembukaan Indo Defence 2025 Expo & Forum. Dalam pidatonya, Presiden mengungkapkan betapa besar kerugian yang dialami bangsa Indonesia selama era kolonial Belanda.
“Baru ada suatu riset beberapa minggu lalu yang menceritakan bahwa selama menjajah kita, Belanda telah mengambil kekayaan kita senilai –dengan uang sekarang– 31 triliun dolar Amerika (setara Rp505 kuadriliun). Produksi domestik bruto kita sekarang 1,5 triliun dolar (setara Rp24,4 triliun). Berarti kekayaan yang diambil dari bangsa Indonesia sama dengan mungkin 18 kali produksi bangsa Indonesia, atau kurang lebih 140 tahun anggaran kita,” ujar Presiden Prabowo dalam salinan pidatonya, dilansir dari laman resmi Sekretariat Negara.
Presiden juga menyebut bahwa selama menjajah Indonesia, Belanda sempat menikmati posisi sebagai negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita tertinggi di dunia.
Baca Juga
Meski tidak menjabarkan secara rinci riset yang menjadi sumber data tersebut, pernyataan Presiden mengundang perhatian terhadap sejarah panjang kolonialisme Belanda, terutama dalam konteks eksploitasi sumber daya alam Indonesia, termasuk sektor pertambangan yang menjadi tonggak ekonomi kolonial.
Jejak Tambang Pertama: Timah di Bangka Lebih Awal dari Batubara Sawahlunto
Selama ini, publik kerap mengenal Tambang Batubara Ombilin di Sawahlunto, Sumatera Barat sebagai tambang pertama di Indonesia yang dibuka oleh pemerintah kolonial pada tahun 1892. Situs tambang tersebut bahkan telah diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO pada tahun 2019. Namun, catatan sejarah menunjukkan bahwa kegiatan pertambangan di Indonesia telah dimulai jauh lebih awal.
Tambang timah di Pulau Bangka, yang dikelola oleh perusahaan Banka Tin Winning Bedrijf (BTWB), merupakan tonggak awal industri pertambangan kolonial di Indonesia. Didirikan pada tahun 1816, BTWB menjadi perusahaan tambang pertama di Hindia Belanda.
“Banka Tin Winning yang didirikan pemerintah (kolonial) Belanda pada tahun 1816, adalah perusahaan tambang yang pertama di Indonesia, bahkan mendahului diterbitkannya undang-undang pertambangan,” ungkap Sutedjo Sujitno dalam bukunya Sejarah Penambangan Timah di Indonesia Abad ke-18–Abad ke-20.
BTWB merupakan perusahaan milik pemerintah kolonial dengan kantor pusat di Muntok, Bangka. Eksploitasi timah menjadi sangat menguntungkan, mengingat kualitas timah Bangka termasuk yang terbaik di dunia pada masa itu.
Menurut Mary F. Somers dalam karyanya Bangka Tin and Mentok Pepper, sejak awal operasi tahun 1819, produksi timah di Bangka rata-rata mencapai 20.000 pikul per tahun. Perusahaan itu menghasilkan keuntungan fantastis: sekitar 400 juta gulden pada periode 1820–1910, dan 350 juta gulden antara 1911–1925.
Kuli Tambang China dan Ekspansi ke Belitung
Eksploitasi tambang tidak hanya berlangsung di Bangka. Cadangan timah di Pulau Belitung meskipun lebih kecil, turut dimanfaatkan melalui perusahaan swasta Gemeenschappelijke Mijnbouwmaatschappij Biliton (GMB) yang berdiri tahun 1850. Kendati berbeda pengelola, pola eksploitasi tetap serupa, bergantung pada tenaga kerja murah.
“Terlepas dari itu eksploitasi tambangnya tetap bergantung pada para kuli China dan pada 1905 bahkan tercatat ada sekitar 15 ribu kuli tambang China yang dipekerjakan di Pulau Bangka saja,” ungkap Iem Brown dan rekan-rekan dalam buku Europa Territories of the World: The Territories of Indonesia.
Aturan Kolonial yang Memuluskan Eksploitasi
Keberhasilan kolonial dalam mengeksploitasi sumber daya tak lepas dari kebijakan hukum yang dirancang untuk melindungi kepentingan modal asing. Pada tahun 1870, pemerintah kolonial menerbitkan Agrarische Wet, undang-undang pertanahan yang memberi investor hak guna usaha (erfpacht) dan hak guna bangunan (opstal) selama 75 tahun.
Dalam bukunya Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan Mineral dan Batubara, Ahmad Redi menjelaskan bahwa kebijakan tersebut didesak oleh pemilik perusahaan partikelir asing agar mendapat jaminan hukum untuk menjalankan bisnis perkebunan dan pertambangan.
Aturan khusus mengenai pertambangan baru hadir lewat Indische Mijnwet pada tahun 1899. Peraturan ini dilengkapi dengan Mijnordonantie No. 30 Tahun 1930 yang mengatur pelaksanaan teknis. Namun, warisan hukum kolonial ini masih terasa bahkan setelah Indonesia merdeka.
“Meskipun Indonesia telah merdeka ternyata konsep Agrarische Wet 1870 dan Indische Mijnwet van 1899 esensinya tetap dipertahankan yang dilabelisasi dengan Hak Menguasai Negara (HMN),” kutip buku Dinamika Kota Tambang Sawahlunto: Dari Ekonomi Kapitalis ke Ekonomi Rakyat.
Aturan-aturan tersebut, lanjut buku itu, menjadi dasar bagi pemerintah kolonial untuk tidak mengakui hak ulayat masyarakat adat atas tanah dan kekayaan alam mereka. Bahkan ‘ganti rugi’ atas tanah tambang pun hanya diberikan dalam kerangka hukum kolonial.
Dari VOC ke Pemerintah Hindia Belanda: Lanjutan Eksploitasi
Meski VOC bubar pada 1799, eksploitasi sumber daya tidak berhenti. Pemerintah Hindia Belanda mengambil alih dan meneruskan kegiatan ekonomi, termasuk pertambangan. Tujuan utama mereka tetap sama: memperkaya kas negara kolonial melalui komoditas Nusantara.
Bonnie Triyana, sejarawan Indonesia, menegaskan bahwa mitos penjajahan selama 350 tahun berakar dari pernyataan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Bonifacius Cornelis de Jonge pada 1935. “Itu yang digunakan oleh Bung Karno sebagai materi pidato dia, dihitunglah sejak VOC datang 1596,” kata Bonnie.
Versi lain menyebut angka penjajahan yang sebenarnya jauh lebih pendek dan menunjukkan bahwa Belanda tidak sepenuhnya menguasai seluruh wilayah Indonesia secara bersamaan.
Tambang Meredup di Era Jepang, Dinormalisasi Pasca Merdeka
Pendudukan Jepang pada 1942 membuat industri timah lesu. Fokus Jepang lebih tertuju pada batubara dan minyak bumi untuk kebutuhan perang. Seiring penyerahan kedaulatan kepada Indonesia pada tahun 1949, perusahaan tambang kolonial pun mulai dinasionalisasi pada 1958.
“Selama Perang Dunia II, Bangka dan Belitung juga ikut dikuasai Jepang. Pada April 1950 setelah penyerahan kedaulatan, kawasan itu dilebur ke Provinsi Sumatera Selatan dan perusahaan-perusahaan tambang (Belanda) dinasionalisasi mulai 1958,” ujar Iem Brown dan kolega.
Eksploitasi Berlanjut hingga Kini
Sejak Orde Baru hingga era modern, kegiatan pertambangan terus berkembang. Kini bahkan kawasan Raja Ampat yang dikenal sebagai salah satu surga dunia pun tidak luput dari eksploitasi nikel.
Sejarah panjang ini menunjukkan bahwa kolonialisme meninggalkan warisan tak hanya berupa kerugian ekonomi, namun juga sistem hukum dan pengelolaan sumber daya yang masih membayangi hingga kini. Maka, penting bagi bangsa ini untuk terus meninjau ulang sistem pengelolaan sumber daya alam demi memastikan keadilan dan kedaulatan ekonomi nasional.

Sindi
navigasi.co.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
Jadwal dan Tarif Penyeberangan Feri Terbaru TAA Bangka Belitung
- 01 Agustus 2025
2.
Kereta Api Pasundan Baru, Nyaman dan Ramah Penumpang
- 01 Agustus 2025
3.
Oppo Find X9 Pro Usung Kamera 200MP dan Baterai Jumbo
- 01 Agustus 2025
4.
Kuliner Soto Lamongan: Jejak Tradisi dan Perantauan
- 01 Agustus 2025
5.
Pilihan Tablet Samsung SIM Card Terbaik 2025
- 01 Agustus 2025