Bukit Asam Dorong Hilirisasi Batu Bara Nasional

Bukit Asam Dorong Hilirisasi Batu Bara Nasional
Bukit Asam Dorong Hilirisasi Batu Bara Nasional

JAKARTA - PT Bukit Asam Tbk (PTBA) menegaskan komitmennya untuk terus mengembangkan hilirisasi batu bara, meski menghadapi tantangan berat dari sisi fiskal dan logistik. Transformasi ini menunjukkan bahwa PTBA tidak lagi sekadar sebagai perusahaan penambang, tetapi juga penggerak industrialisasi energi nasional yang berkelanjutan.

“Visi ini bukan baru dirancang hari ini. Kami sudah memulainya satu dekade lalu,” ujar Direktur Hilirisasi dan Diversifikasi Produk PTBA, Turino Yulianto.

PTBA memiliki cadangan batu bara sebesar 5,7 miliar ton, dengan sumber daya terbukti sekitar 2,9 miliar ton. Dengan kapasitas produksi sekitar 50 juta ton per tahun, cadangan ini cukup untuk menopang kebutuhan energi lebih dari 100 tahun ke depan. Meski demikian, sekitar 70 persen dari cadangan tersebut berupa batu bara kalori rendah di bawah 3.000 kalori, yang secara komersial sulit dijual.

Baca Juga

Rumah Murah Menanti di Lumajang Kini

“Kami sadar dunia menghadapi dilema energi, antara ketahanan, keterjangkauan, dan keberlanjutan. Batu bara yang kita miliki masih relevan sebagai sumber energi dasar dan bisa dikembangkan menjadi produk yang lebih ramah lingkungan,” jelas Turino.

Strategi PTBA mengacu pada dual track, yakni tetap menjalankan tambang konvensional (jalur hitam) sekaligus memperluas transformasi melalui hilirisasi (jalur hijau). Langkah ini menjadi bagian penting dari rencana jangka panjang perusahaan untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya yang dimiliki.

Salah satu proyek besar yang tengah dijalankan adalah pembangunan kawasan industri berbasis batu bara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, seluas hampir 600 hektar. Kawasan ini akan menjadi pusat aktivitas hilirisasi, mulai dari penambangan hingga pengolahan batu bara menjadi produk turunan bernilai tinggi.

Beberapa proyek yang tengah dikembangkan meliputi: pabrik pupuk berbasis batu bara bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan uji coba dijadwalkan pada 21 Agustus; produksi Dimethyl Ether (DME) sebagai pengganti LPG, yang memiliki nilai tambah sekitar 4,3 kali lipat dari batu bara mentah; Synthetic Natural Gas (SNG) bekerja sama dengan PGN, ditargetkan beroperasi pada 2028; pengembangan material baterai kendaraan listrik, termasuk grafit buatan; serta pembangunan PLTU skala kecil dan solar cell untuk wilayah pertanian dan desa terpencil.

Meski agresif mendorong hilirisasi, PTBA tetap menghadapi tekanan fiskal dan fluktuasi harga batu bara. Direktur Utama PTBA, Arsal Ismail, menjelaskan bahwa beban keuangan perusahaan semakin berat. “Dulu royalti 3 sampai 5 persen, sekarang sudah naik ke 40 persen. Ada juga PPN dan rencana pungutan ekspor. Ditambah lagi wacana pajak angkutan,” ungkap Arsal.

Dari sisi harga, batu bara yang sebelumnya bisa dijual di atas 100 dollar AS per ton (sekitar Rp 1,65 juta), kini turun tajam menjadi sekitar 24,5 dollar AS atau Rp 404 ribu per ton. Penurunan harga ini berdampak langsung pada keuangan perusahaan. “Banyak kontrak kami mengacu pada indeks ICI-5000. Saat proyeksi di angka 72 dollar AS, sekarang tinggal sekitar 24,5 dollar AS. Penurunannya drastis,” kata Arsal. Selain itu, kebijakan Harga Batu Bara Acuan (HBA) juga menjadi tantangan dalam ekspor karena perbedaan harga yang cukup signifikan, antara 7 hingga 9 dollar AS, yang harus diperjuangkan.

Turino menekankan bahwa hilirisasi bukan proyek jangka pendek. “Membangun pabrik saja butuh 3 tahun, baru bisa beroperasi secara komersial di tahun keempat. Umur pabrik bisa sampai 25 tahun, jadi butuh perencanaan matang,” ujarnya.

Ia menambahkan, konsistensi regulasi dan kesamaan visi antara BUMN, pemerintah, dan swasta sangat penting agar investasi besar ini bisa terlaksana. “Sekali jalan, tidak bisa coba-coba. Ini proyek jangka panjang,” tegas Turino.

Perhitungan PTBA menunjukkan bahwa jika saat ini 40 juta ton batu bara hanya menghasilkan Rp 40 triliun, maka bila diolah menjadi produk seperti DME, nilainya bisa meningkat hingga Rp 200 triliun. Strategi ini membuktikan bahwa batu bara bukan sekadar komoditas, tetapi awal dari industrialisasi dan inovasi energi.

Melalui pengembangan hilirisasi, PTBA juga berharap dapat mendorong pertumbuhan ekonomi regional, membuka lapangan kerja baru, dan memperkuat ketahanan energi nasional. Transformasi ini sejalan dengan tujuan pemerintah untuk menjadikan energi Indonesia lebih efisien, berkelanjutan, dan bernilai tambah tinggi.

Optimisme PTBA tercermin dari keyakinan bahwa hilirisasi akan memperkuat posisi perusahaan dalam pasar domestik maupun internasional. Turino menegaskan, pendekatan jangka panjang ini memungkinkan PTBA tidak hanya bertahan di tengah gejolak pasar dan fiskal, tetapi juga berperan aktif dalam membangun ekosistem energi nasional yang modern dan berkelanjutan.

“Batu bara bukan akhir dari energi, tapi awal dari industrialisasi,” tutup Turino, menegaskan komitmen PTBA untuk menghadirkan inovasi sekaligus memperkuat perekonomian nasional melalui strategi hilirisasi yang terencana dan berkelanjutan.

Sindi

Sindi

navigasi.co.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.

Rekomendasi

Berita Lainnya

Panen Tembakau di Jombang, Petani Pilih Jual Basah

Panen Tembakau di Jombang, Petani Pilih Jual Basah

Indonesia Salurkan 800 Ton Bantuan Logistik untuk Gaza

Indonesia Salurkan 800 Ton Bantuan Logistik untuk Gaza

Bukit Asam Dorong Hilirisasi Batu Bara Nasional

Bukit Asam Dorong Hilirisasi Batu Bara Nasional

Info Harga Gas LPG Terkini Seluruh Indonesia

Info Harga Gas LPG Terkini Seluruh Indonesia

Pupuk Indonesia Diharapkan Cepat Distribusikan Subsidi Petani

Pupuk Indonesia Diharapkan Cepat Distribusikan Subsidi Petani